Kamis, 13 Mei 2010

Pengertian Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme

Konstruktivisme merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di tingkat sekolah dan universitas tetapi tidak begitu terlihat dan tidak ditekankan. Menurut faham konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan dari guru kepada murid dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu dibina suatu pengetahuan seperti pengalaman masing-masing. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid. Realita yang diketahui murid adalah realita yang dia bina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap diri mereka.
Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengolah struktur kognitif yang tersedia pada diri mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagai pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Proses ini dinamakan konstruktivisme.
Beberapa ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahwa pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman setiap murid. Dalam kelas konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Selain itu , para siswa diberdayakan oleh pengetahuan yang berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antar satu dengan lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan setiap masalah.
Salah satu yang mendasar dalam pembelajaran matematika menurut konstruktivis adalah suatu pendekatan dengan jawab tak terduga sebelumnya dengan suatu ketertarikan yang cerdik dalam mempelajari karakter, keaslian, cerita,dan implikasinya. Perbedaan individu di kelas berimplikasi bahwa guru disyaratkan untuk mempertimbangkan bagaimana menerapkan pembelajaran matematika agar dapat melayani secara cukup perbedaan-perbedaan individu siswa.
Berkenaan dengan perbedaan individu, Board of Studies(1995) menyatakan bahwa ”siswa akan mencapai prestasi belajar dalam kecepatan yang berbeda dan secara kualitatif dalam cara-cara yang berbeda”. Kualitas pembelajaran ditandai seberapa luas dalam lingkungan belajar:
Mulai dari mana siswa ini berada
Mengenali bahwa siswa belajar dengan kecepatan yang berbeda dan cara yang berbeda
Melibatkan secara fisik dalam proses belajar
Meminta siswa untuk memvisualkan yang imajiner
Di dalam konstruktivisme peran guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika.

2.2. Macam-macam Pandangan Konstruktivisme dan Tokoh-tokohnya
2.2.1. Aliran Psikologi Kognitif
Aliran kognitif mulai muncul pada tahun 60-an sebagai gejala ketidakpuasan terhadap konsep manusia menurut behaviorisme. Gerakan ini tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk yang bereaksi secara pasif terhadap lingkungan, melainkan sebagai makhluk yang selalu berfikir (Homo Sapiens). Paham kognitifisme ini tumbuh akibat pemikiran-pemikiran kaum rasionalisme. Menurut mereka manusia tidak memberikan respon secara otomatis kepada stimulus yang dihadapkan kepadanya karena manusia adalah makhluk aktif yang dapat menafsirkan lingkungan dan bahkan dapat mendistorsinya (merubahnya). Pada dasarnya mereka berpandangan bahwa manusialah yang menentukan makna stimulus itu, bukan stimulus itu sendiri.
Ciri-ciri aliran kognitif:
1. mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
2. mementingkan keseluruhan daripada bagian-bagian
3. mementingkan peranan kognitif
4. mementingkan kondisi waktu sekarang
5. mementingkan pembentukan struktur kognitif
6. mengutamakan keseimbangan dalam diri manusia
7. mengutamakan insight (pengertian, pemahaman)
Tokoh-tokohnya antara lain:Jean Piaget, Jerome Bruner, John Dewey, W. Brownell, Zoltan P.Dienes dan Van Hielle.
2.2.1.1. Teori Piaget
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai Skemata (Schemes), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap daripada ketika ia masih kecil.
Perkembangan skemata ini berlangsung terus-menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skemata yang telah terbentuk
b. Akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung
Dalam struktur kognitif setiap individu pasti ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki ke keseimbangan baru yang diperolehnya. Pola pikir anak tidak sama dengan pola berpikir orang dewasa. Tahap perkembangan kognitif atau taraf kemampuan berpikir seorang individu sesuai dengan usianya. Makin dewasa makin meningkat pula kemampuan berpikirnya.
Selain itu, perkembangan kognitif seorang individu dipengaruhi pula oleh lingkungan dan transmisi sosialnya. Jadi, karena efektivitas hubungan antara setiap individu dengan lingkungan dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain, maka tahap perkembangan kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Oleh karena itu agar perkembangan kognitif seorang anak berjalan secara maksimal, sebaiknya diperkaya dengan banyak pengalaman edukatif.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembang secara kronologis, yaitu:
a.Tahap sensori motorik (Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang.
b. Tahap Pra Operasi (Pre Operasional Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan Piaget adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting), (Mairer, 1978: 24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula.

c. Tahap Operasi Konkrit
Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada di sekolah dasar. Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berpikir reversible.
Piaget mengidentifikasi adanya enam jenius konsep kekekalan yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit yaitu:
a)kekekalan banyak (6-7 tahun)
b)kekekalan materi (7-8 tahun)
c)kekekalan panjang (7-8 tahun)
d)kekekalan luas (8-9 tahun)
e)kekekalan berat (9-10 tahun)
f)kekekalan volum (11-12 tahun)
(Anderson, 1970: 126-127)
Anak pada tahap ini baru mampu mengikat definisi yang telah ada dan mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu untuk merumuskan sendiri definisi-definisi tersebut secara tepat, belum mampu menguasai simbol verbal dan ide-ide abstrak.
d. Tahap Operasi Formal
Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Penggunaan benda-benda konkrit tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi. Karakteristik lain dari anak pada tahap ini ialah telah memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya (Child, 1977: 127)
Selain itu, karakteristik lain dari anak pada tahap ini telah memiliki kemampuan berpikir kombinatorial (combinatorial thought), yaitu kemampuan menyusun kombinasi-kombinasi yang mungkin dari unsur-unsur dalam suatu sistem (Wardsworth, 1971: 103-104). Jadi, anak pada operasi formal tidak lagi berhubungan dengan ada-tidaknya benda-benda konkrit, tetapi berhubungan dengan tipe berpikir.
2.2.1.2. Teori Bruner
Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan pada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang harus dikuasinya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat anak.
Bruner, melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati 3 tahap, yaitu:
Tahap enaktif
a)Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek.
b)Tahap ikonik
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
c)Tahap simbolik
Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
Bruner mengadakan pengamatan ke sekolah-sekolah. Dari hasil pengamatannya itu diperoleh beberapa kesimpulan yang melahirkan dalil-dalil, yaitu:
a)Dalil Penyusunan (konstruksi)
Dalil ini menyatakan bahwa jika anak ingin mempunyai kemampuan dalam hal menguasai konsep, teorema, definisi, dan semacamnya, anak harus dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya. Untuk melekatkan ide atau definisi tertentu dalam pikiran, anak-anak harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya sendiri. Dengan demikian, jika anak aktif dan terlibat dalam kegiatan mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut, maka anak akan lebih memahaminya. Dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, dalam tahap awal pemahaman konsep diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang mengantar anak kepada pengertian konsep.
b)Dalil Notasi
Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental anak. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.
c)Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman
Dalam dalil ini dinyatakan bahwa pengkontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pengubahan konsep difahami dengan mendalam, diperlukan contoh-contoh yang banyak, sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Anak perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan atau teorema yang diberikan. Selain itu mereka perlu juga diberi contoh-contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau teorema, sehingga diharapkan anak tidak mengalami salah pengertian terhadap konsep yang sedang dipelajari.
Konsep yang diterangkan dengan contoh dan bukan contoh adalah salah satu cara pengontrasan. Melalui cara ini anak akan mudah memahami arti karakteristik konsep yang diberikan tersebut. Sebagai contoh, untuk menjelaskan pengertian persegi panjang, anak harus diberi contoh persegi, belah ketupat, jajar genjang dan segi empat lainnya selain persegi panjang. Dengan demikian anak dapat membedakan apakah segiempat yang diberikan termasuk persegipanjang atau tidak.

d)Dalil Pengaitan (konektivitas)
Dalam dalil ini dinyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi yang lainnya. Misalnya konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel Phytagoras atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.
2.2.1.3. Teori Gestalt
Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
a)penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian
b)pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa, dan
c)mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar
Dari ketiga hal di atas, dalam menyajikan pelajaran guru jangan memberikan konsep yang harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir.

2.2.1.4. Teori Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat beberapa situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapannya itu. Representasi yang diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian anak-anak telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai contoh, anak-anak yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema, dalam arti membuktikan teorema tersebut.



2.2.1.5. Teorema Van Hiele
Semua teori belajar yang telah diuraikan di muka adalah teori belajar yang dijadikan landasan proses belajar mengajar matematika. Pada bagian ini akan disinggung bagaimana teori belajar yang dikemukakan ahli pendidikan, khusus dalam bidang geometri.
Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu:
a)Tahap pengenalan (visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi sisi yang merupakan bujursangkar, bahwa sisinya ada 6 buah, rusuknya ada 12 dan lain-lain.
b)Tahap analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya di saat ia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c)Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali bahwa bujursangkar adalah jajar genjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari dua segitiga yang kongruen.
d)Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisi, di samping unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian.
e)Tahap akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.

2.2.2. Aliran Psikologi Humanisme
Humanisme adalah suatu pendekatan dalam filsafat pendidikan yang bertujuan mengembangkan sikap, perasaan dan kemampuan belajar mandiri pada siswanya. Penganut pandangan Humanisme lebih menekankan pada peran sekolah dalam membentuk domain affektif siswa, mengajar siswa bagaimana cara belajar dan meningkatkan kreativitas dan potensi manusia. Salah satu penganut aliran ini adalah Vygotsky. Pendekatan humanis sangat popular di Amerika Serikat di awal 1970 -an. Dalam salah satu prakteknya, terdapat sebuah sekolah di Inggris yang menerapkan cara mengajar siswa yang tidak memberi pelajaran membaca sampai siswa meminta sendiri untuk diajar membaca.
Keleluasaan untuk memilih apa yang akan dipelajari dan kapan dan bagaimana mereka akan mempelajarinya yang merupakan ciri utama pendekatan humanisme bertujuan untuk membantu siswa menjadi self-directed serta self-motivated learner. Penganut paham ini yakin bahwa siswa akan bersedia melakukan banyak hal apabila mereka memiliki motivasi yang tinggi dan mereka diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Ciri lain dari pendekatan humanisme adalah mereka menghindari pemberian nilai, tes standard atau evaluasi formal lainnya.
Berikut ini adalah nilai-nilai penting yang ditumbuhkembangkan dalam pendidikan humanisme:
1.Kejujuran (tidak menyontek, tidak merusak, bisa dipercaya),
2.Menghargai hak orang lain (menerima dan menghormati perbedaan individu yang ada, mau mendengarkan orang lain, menolong orang lain, bisa berempati terhadap problem orang lain),
3.Menjaga lingkungan (menghemat penggunakan listrik, gas, kayu, logam, kertas, dll.; menjaga barang milik sendiri ataupun milik orang lain),
4.Perilaku (mau berbagi, menolong orang lain, ramah terhadap orang lain, berlaku pantas didepan publik)
5.Kebiasaan di sekolah (tepat waktu, mematuhi aturan, rajin, menerima kepemimpinan orang lain, menghargai pendidikan, memperhatikan peraturan keamanan);
6.Perkembangan pribadi dengan menjalankan tanggung jawab, menghargai kesehatan dan kebersihan fisik, mengembangkan bakat yang dimiliki secara optimal, mengembangkan rasa hormat dan rasa bangga terhadap diri sendiri, mengontrol perilaku, memiliki sikap berani, terhormat dan patriotik, menghargai keindahan.
Teori Vygotsky
Pertumbuhan intelektual individu merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang oleh Vygotsky disebutnya sebagai scaffolding. Scaffolding, berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan. Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Vygotsky lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1) mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan, (2) zona of proximal development. Zona  of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Pembelajar sebagai  mediator memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiakultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development mereka.

2.3. Implikasi Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme
Adapun dampak penggunaan pandangan konstruktivisme, yaitu:
1.Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
2.Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
3.Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat yang tepat.
4.Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
5.Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

2.4. Aplikasi Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme Kognitif dan Konstruktivisme Humanis
2.4.1. Aplikasi Pendekatan Pembelajaran Kognitif
a. Menurut Jean Piaget
1)Menentukan tujuan instruksional
2)Memilih materi pelajaran
3)Menentukan topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa
4)Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk topik yang akan dipelajari siswa.
5)Mempersiapkan pertanyaan yang dapat memacu kreatifitas siswa untuk berdiskusi atau bertanya
6)Mengevaluasi proses dan hasil belajar
b.Menurut Jerome Bruner
1)Menentukan tujuan-tujuan instruksional
2)Memilih materi pelajaran
3)Menentukan topik yang bisa dipelajari secara induktif oleh siswa
4)Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi, yang dapat digunakan siswa untuk belajar
5)Mengatur topik-topik pelajaran:
 sederhana  kompleks
 enaktif  ikonik  simboli
6)Mengevaluasi proses dan hasil belajar
2.4.2. Aplikasi Pendekatan Pembelajaran Humanis
1. Menentukan tujuan instruksional
2. Menentukan materi pelajaran
3. Mengidentifikasi “entry behavior” siswa
4. Mengidentifikasi topik-topik yang memungkinkan siswa mempelajarinya secara aktif (mengalami)
5. Mendesain wahana (lingkungan, media, fasilitas, dsb) yang akan digunakan siswa untuk belajar
6. Membimbing siswa belajar secara aktif
7. Membimbing siswa memahami hakikat makna dari pengalaman belajar mereka
8. Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman tersebut
9. Membimbing siswa sampai mereka mampu mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi yang baru
10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar-mengajar

Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang belajar dan pembelajaran.
Konstruktivistik
Behavioristik
Pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu.
Pengetahuan adalah objektif, pasti, dan tetap , tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi.
Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna seta menghargai ketidakmenentuan.
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar.
Siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.
Siswa akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh siswa.
Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistic.
Fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.

Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang
Penataan Lingkungan Belajar
Konstruktivistik
Behavioristik
Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan,
Keteraturan, kepastian, ketertiban
Siswa harus bebas. Kebebasan menjadi unsure yang esensial dalam lingkungna belajar.
Siswa harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dahulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial. Pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa adalah subjek yang harus memapu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar.
Ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa adalah objek yang harus berperilaku sesuai dengan aturan.
Kontrol belajar dipegang oleh siswa.
Kontrol belajar dipegang oleh system yang berada di luar diri siswa.

Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang Tujuan Pembelajaran
Konstruktivistik
Behavioristik
Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn)
Tujuan belajar ditekankan pada penambahan pengetahuan.

Pandangan Konstruktivistik dan behavioristik tentang strategi pembelajaran
Konstruktivistik
Behavioristik
Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari keseluruhan-ke-bagian.

Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau pandangan siswa.

Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.

Pembelajaran menekankan pada proses.
Penyajian isi menekankan pada keterampilan yang terisolasi dan akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian-ke-keseluruhan.

Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat.



Aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks dengan penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks.

Pembelajaran menekankan pada hasil

Tabe 6 Pandangan Konstruktivistik dan Behavioristik tentang evaluasi

Konstruktivistik
Behavioristik
Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata.

Evaluasi yang menggali munculnya berpikir divergen, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar

Evaluasi merupakan bagian utuh dari belajar dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktivitas belajar yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari dalam konteks nyata. evaluasi menekankan pada keterampilan proses dalam kelompok.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan ‘paper and pencil test’


Evaluasi yang menuntut satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa si-belajar telah menyelesaikan tugas belajar.

Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah kegiatan belajar dengan penekanan pada evaluasi individual.









DAFTAR PUSTAKA


Mahmud,M.Dimyati.1989.Psikologi Pendidikan.Jakarta.Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Tim MKPBN Jurusan Pendidikan Matematika.2001.Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: Jl CA-Universitas Pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar