Kamis, 13 Mei 2010

TEORI BELAJAR KOGNITIF

2.1 Pengertian Teori Belajar Kognitif
Teori-teori kognitif didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Dengan kemampuan kognitif ini maka anak dipandang sebagai individu yang secara aktif membangun sendiri pengetahuan mereka tentang dunia.
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajarnya. Teori ini juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Membagi-bagi situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah akan menghilangkan makna belajar. Teori ini juga berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. Belajar adalah aktifitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar di sini antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima (faktor eksternal) dan menyesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah terbentuk di dalam pikiran seseorang (background knowledge) berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya (faktor internal). Teori kognitif lebih menekankan pada struktur internal pembelajar dan lebih memberi perhatian pada bagaimana seseorang menerima, menyimpan, dan mengingat kembali informasi dari perbendaharaan ingatan. Ada beberapa kelompok penganut teori kognitif, namun fokus dari penganut teori ini sama yaitu pada soal bekerjanya pikiran manusia.
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk representatif yang mewakili obyek-obyek itu direpresentasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali ke negerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat dia bawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.

2.2 Teori Belajar Kognitif menurut Piaget, Bruner, Ausubel
2.2.1 Jean Piaget
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari sekema-skema. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Perkembangan skemata berlangsung terus menerus melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut.
Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam schemata yang telah terbentuk. Sedangkan akomodasi adalah proses pengintegrasian stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung. Hal ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat diasimilasi, karena tidak ada skema yang sesuai dengan yang telah dimilikinya. Pada proses akomodasi skema yang ada memodifikasi diri atau menciptakan skema baru sehingga sesuai stimulus baru itu. Setelah itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan demikian pada proses asimilasi tidak menghasilkan perubahan schemata, melainkan hanya menunjang pertumbuhan schemata secara kuantitas. Sedangkan pada akomodasi menghasilkan perubahan schemata secara kualitas.
Dalam struktur kognitif setiap individu harus ada keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Keseimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan perbedaan yang terdapat pada stimulus-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki ke kesaimbangan baru yang diperoleh.
Berdasarkan hasil penelitiannya yang dilakukan di Swiss pada tahun 1950-an, Piaget mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yaitu:
a.Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage)
Tahap ini berlangsung mulai dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun. Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini, ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam simbol-simbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan.
b.Tahap Pra Operasi (Pre Operasional Stage)
Tahap ini berlangsung dari sekitar umur 2 tahun sampai 7 tahun. Tahap pra operasi merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan Piaget disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakan berbeda pula.
Contoh:
Dua utas tali sama panjang diletakkan di atas meja, kemudian rentangannya diubah. Hasilnya, anak-anak akan mengatakan bahwa kedua tali tersebut menjadi berbeda panjangnya.
a c
diubah menjadi

b d
diubah menjadi

Panjang tali a sama dengan panjang tali b, tetapi panjang tali c tidak sama dengan tali d.
c.Tahap Operasi Konkrit (Concrete Operational Stage)
Tahap ini berlangsung dari sekitar umur 7 tahun sampai 11 tahun. Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan (kekekalan banyak saat anak berusia 6-7 tahun, kekekalan materi saat anak berusia 7-8 tahun, kekekalan panjang saat anak berusia 7-8 tahun, kekekalan luas saat anak berusia 8-9 tahun, kekekalan berat saat anak berusia 9-10 tahun, kekekalan volume saat anak berusia 11-12 tahun), kemampuan untuk mengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berpikir reversible.
Kemampuan mengurutkan objek (serasi) yang dipahami oleh anak pada tahap ini berkembang sesuai dengan pemahaman konsep kekekalan. Kemampuan mengurutkan objek berdasarkan panjang dipahami pada sekitar 7 tahun, mengurutkan objek yang besarnya sama tetapi beratnya berlainan dicapai pada umur sekitar 9 tahun, dan mengurutkan benda menurut volumnya dicapainya pada sekitar 12 tahun.
Pada tahap ini anak memahami pula konsep ekuivalensi dan klasifikasi. Piaget membuktikannya dengan eksperiman sebagai berikut:
Seorang anak diberi 20 bola kayu, 15 buah diantaranya berwarna merah. Apabila ditanyakan manakah yang lebih banyak, bola kayu atau bola berwarna merah?
Anak pada tahap pra operasional menjawab bahwa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada tahap operasi konkrit menjawab bahwa bola kayu lebih banyak dari pada bola berwarna merah.
Eksperimen tersebut menunjukkan bahwa anak pada tahap operasi konkrit telah mampu memperhatikan sekaligus dua macam kelompok yang berbeda. Ia telah dapat mengelompokkan benda-benda yang memiliki beberapa karakteristik ke dalam himpunan dan himpunan bagian dengan karakteristik khusus, dan dapat melihat beberapa karakteristik suatu benda secara serentak.
Anak pada tahap ini baru mamapu mengikat definisi yang telah ada dan mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu untuk merumuskan sendiri definisi-definisi tersebut secara tepat, belum mampu menguasai symbol verbal dan ide-ide abstrak.
d.Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi formal berlangsung saat anak berumur 11 tahun dan seterusnya. Tahap merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Penggunaan benda-benda konkrit tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Penalaran yang terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan symbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi. Ia telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan. Karakteristik lain dari anak pada tahap ini ialah telah memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya. Selain itu, pada tahap ini anak telah memiliki kemampuan berfikir kombinatorial (combinatorial thouht), yaitu kemampuan menyusun kombinasi-kombinasi yang mungkin dari unsur-unsur dalam suatu sistem. Misalnay kombinasi warna, kombinasi beberapa bilangan, dan kombinasi beberapa huruf.

2.2.2 Jerome Bruner
Dalam teorinya menyatakan bahwa belajar akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.
Bruner dalam teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesmpatan untuk memanipulasi benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikannya itu.
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati 3 tahap, yaitu:
1.Tahap Enaktif
Dalam tahap ini anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi objek.
2.Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
Atau dengan kata lain, seseorang memahami objek melalui gambar dan visualisasi verbal.
3.Tahap simbolik
Dalam tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
Bruner mengadakan pengamatan ke sekolah-sekolah. Dari hasil pengamatannya itu diperoleh beberapa kesimpulan yang melahirkan dalil-dalil. Dalil-dalil tersebut di antaranya:
a)Dalil penyusunan (konstruksi)
Dalil ini menyatakan bahwa jika anak ingin mempunyai kemampuan dalam hal menguasai konsep, teorema, definisi dan semacamnya, anak harus dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya. Untuk melekatkan ide atau definisi tertentu dalam pikiran, anak-anak harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya sendiri. Dengan demikian, jika anak aktif dan telibat dalam kegiatan mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi konsep tersebut maka anak akan lebih memahaminya.
Contoh:
Anak yang mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip penjumlahan berulang, akan lebih memahami konsep tersebut. Jika anak mencoba sendiri menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan proses perkalian tersebut. Sebagai contoh perkalian, kita ambil 3 x 5, ini berarti pada garis bilangan meloncat 3x dengan loncatan sejauh 5 satuan, hasil loncatan tersebut kita periksa, ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangi Hasil percobaan seperti ini, anak akan benar-benar memahami dengan pengertian yang dalam, bahwa perkalian pada dasarnya merupakan penjumlahan berulang.
b)Dalil Notasi
Mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting. Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan mental anak. Ini berarti untuk menyatakan sebuah rumus misalnya, maka notasinya harus dapat dipahami anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.
c)Dalil pengkontrasan dan keanekaragaman.
Dinyatakan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pengubahan konsep dipahami dengan mendalam, diperlukan contoh-contoh yang banyak, sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut.
d)Dalil Pengaitan (konektivitas)
Dalil ini menyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan.

2.2.3 David Ausuble
David Ausuble mengemukan teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna adalah proses mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran dapat menimbulkan belajar bermakna jika memenuhi prasyarat, yaitu:
1.Materi yang akan dipelajari melaksanakan belajar bermakna secara potensial
2.Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar bermakna.
Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung dari materi itu memiliki kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.
Bedasarkan Pandangannya tentang belajar bermakna, maka David Ausuble mengajukan 4 prinsip pembelajaran, yaitu:
1.Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Penggunaan pengatur awal yang tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi , terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
2.Diferensiasi progresif
Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif dipekenalkan dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti proses pembelajaran dari umum ke khusus.
3.Belajar superordinat
Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami petumbuhan ke arah deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut. Proses belajar tersebut akan terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsep-konsep yang lebih luas dan inklusif.
4.Penyesuaian Integratif
Pada suatu saat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausuble mengajukan konsep pembelajaran penyesuaian integrative. Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hierarkhi-hierarkhi konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan.
Belajar penangkapan (reception learning) pertama kali dikembangkan oleh David Ausable sebagai jawaban atas ketidakpuasan model belajar diskoveri yang dikembangkan oleh Jerome Bruner tersebut. Menurut Ausubel, siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dirinya sendiri sehigga mereka memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja kognitif dalam mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah. Ausable menggambarkan model pembelajaran ini dengan nama belajar penangkapan. Para pakar teori belajar penangakapan menyatakan bahwa tugas guru adalah:
a.Menstrukturkan situasi belajar.
b.Memilih materi pembelajaran yang sesuai dengan siswa
c.Menyajikan materi pembelajaran secara terorganisir yang dimulai dari gagasan
Inti belajar penangkapan yaitu pengajaran ekspositori, yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh guru mengenai informasi yang bermakna (meaningful information). Pembelajaran ekspositori itu terdiri dari tiga tahap, yaitu:


1.Penyajian advance organizer
Advance organizer merupakan pernyataan umum yang memperkenalkan bagian-bagian utama yang tercakup dalam urutan pengajaran. Advance organizer berfungsi untuk menghubungakan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang telah berada di dalam pikiran siswa, dan memberikan skema organisasional terhadap informasi yang sangat spesifik yang disajikan.
2.Penyajian materi atau tugas belajar.
Dalam tahap ini, guru menyajikan materi pembelajaran yang baru dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada siswa.
Ausuble menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa, dan juga pentingya pengorganisasian meteri pelajaran yang dikaitkan dengan struktur yang terdapat di dalam advance organizer. Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan diferensiasi progresif, dimana pembelajaran berlangsung setahap demi setahap, dimulai dari konsep umum menuju kepada informasi spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara konsep lama dengan konsep baru.
3.Memperkuat organisasi kognitif.
Ausable menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam stuktur yang telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, dengan cara mengingatkan siswa bahwa rincian yang bersifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum. Pada akhir pembelajaran ini siswa diminta mengajukan pertanyaan pada diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap pelajaran yang baru dipelajari, menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan pengorgnaisasian materi pembelajaran sebagaimana yang dideskripsikan di dalam advance organizer samping itu juga memberikan pertanyaan kepada siswa dalam rangka menjaga keluasan pemahaman siswa tentang isi pelajaran.

2.3 Aplikasi Teori Belajar Kognitif
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktifitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal. Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran tidak lagi mekanistik sebagaimana pada teori behavioristik namun dengan memperhitungkan kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar agar belajar lebih bermakna bagi siswa.
Karakteristik dari proses belajar ini adalah:
a. Belajar merupakan proses pembentukan makna berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki melalui interaksi secara langsung dengan obyek.
b. Belajar merupakan proses pengembangan pemahaman dengan membuat pemahaman baru.
c. Agar terjadi interaksi antara anak dan obyek pengetahuan, maka guru harus menyesuaikan obyek dengan tingkat pengetahuan yang sudah dimiliki anak.
d. Proses belajar harus dihadirkan secara autentik dan alami. Anak dihadirkan dalam situasi obyek sesungguhnya dan harus sesuai dengan perkembangan anak.
e. Guru mendorong dan menerima otonomi dan insiatif anak.
f. Memberi kegiatan yang menumbuhkan rasa keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan ide dan mengkomunikasikannya dengan orang lain.
g. Guru menyusun tugas dengan menggunakan terminologi kognitif yaitu meminta anak untuk mengklasifikasi, menganalisa, memprediksi.
h. Guru memberikan kesempatan kepada anak untuk merespon proses pembelajaran.
i. Guru memberi kesempatan berpikir setelah memberi pertanyaan.







DAFTAR RUJUKAN


Implikasi Pendidikan, Pembelajaran, dan Pengajaran, (Online), (http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/forum/viewtopic.php?id=43, diakses tanggal 1 Oktober 2009).
Lucky. 2009. Teori belajar Kognitif, (Online), (http://win79.blogspot.com/2009/04/teori-belajar-kognitif_06.html, diakses tanggal 1 Oktober 2009).
Tim MKPBN Jurusan Pendidikan Matematika.2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JlCA-Universitas Pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar