Kamis, 13 Mei 2010

TEORI BEHAVIORISME
DAN APLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN



A. Pengertian
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses.
Behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu :
1.Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah. Berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan berkat interaksi antara bekal keturunan dan lingkungan, terbentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.
2.Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri,menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri.
3.Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar.
4.Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
B. Teori Behaviorisme menurut Thorndike
Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S R S1 R1 dst.
Dalam percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1.Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2.Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3.Hukum akibat(law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara mekanis.
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a.Hukum Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.Hukum Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c.Hukum Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap keseluruhan situasi ( respon selektif).
d.Hukum Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e.Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar antara lain :
1.Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
2.Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
3.Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
4.Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaiyu kecakapan yang telah diperoleh dalam belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.
C. Teori Behaviorisme menurut John B. Watson
Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus respons baru melalui conditioning.
Salah satu percobaannya adalah terhadap anak umur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan proses ekstrinsik, dengan mengulang stimulus bersyarat tanpa dibarengi stimulus tak bersyarat.
D. Teori Behaviorisme menurut Clark Hull
Clark Hull menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Di dalam teorinya dikemukakan bahwa suatu kebutuhan atau “keadaan terdorong” (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat di­perkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu.
Prinsip-prinsip utama teorinya :
Reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun fungsi reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction (kebutuhan biologis) daripada satisfied factor.
Prinsip penguat (reinforcer) menggunakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil‑hasil yang memberikan ganjaran bagi seseorang (misalnya: uang, perhatian, afeksi, dan aspirasi sosial ting­kat tinggi). Jadi, prinsip yang utama adalah suatu ke­butuhan atau motif harus ada pada seseorang sebelum belajar itu terjadi; dan bahwa apa yang dipelajari itu harus diamati oleh orang yang belajar sebagai sesuatu yang dapat mengurangi kekuatan kebutuhannya atau memuaskan kebutuhannya.
Dalam mempelajari hubungan S (stimulus)-R (respon) yang perlu dikaji adalah peranan dari intervening variable (atau yang juga dikenal sebagai unsur O (organisma). Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred), efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa output.
Proses belajar baru terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi. Di sini tampak pengaruh teori Darwin yang mementingkan adaptasi biologis organism. Seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup.
Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya.
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull ialah adanya incentive motivation (motivasi insentif) dan drive stimulzis reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah (reward) berubah.
E. Teori Behaviorisme menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan-­deretan tingkah laku yang terdiri dari unit‑unit. Unit‑unit tingkah laku ini merupakan reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demi­kianlah seterusnya sehingga merupakan deretan‑deretan unit tingkah laku yang terus-menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unit‑unit tingkah laku satu sama lain yang ber­urutan. Ulangan‑ulangan atau latihan yang berkali‑kali mem­perkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak.
F. Aplikasi Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran
Teori behaviorisme berpengaruh besar pada arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran sebelum munculnya teori konstruktivisme. Di Indonesia, teori pembelajaran ini telah dilaksanakan sejak dulu hingga akhir tahun ’90-an. Teori ini dijadikan dasar penyusunan kurikulum sebelum tahun 2004, sedangkan masa sesudahnya hingga saat ini menggunakan dasar konstruktivisme (Kahfi, M. Shohibul. Kurikulum Pendidikan dari KBK ke KTSP).
Teori ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori ini pada prakteknya masih banyak dilaksanakan hingga sekarang di Indonesia, meskipun kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah sudah berdasarkan pada pandangan konstruktivisme. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Metode behavioristik ini cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.


Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal, antara yaitu:
1. Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
2. Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.Ă„ teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
3. Menurut John B. Watson, Belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus respons baru melalui conditioning.
4. Menurut Clark Hull dalam teorinya dikemukakan bahwa suatu kebutuhan atau “keadaan terdorong” (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat di­perkuat atas dasar pengurangan kebutuhan itu.
5. Menurut Edwin Guthrie, Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi.
6. Teori belajar behavioristik pada prakteknya masih banyak dilaksanakan hingga sekarang di Indonesia, meskipun kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah sudah berdasarkan pada pandangan konstruktivisme. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.


DAFTAR RUJUKAN

Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Churiyah, Maziatul. 2009. Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran. (Online). (http://madziatul.blogspot.com/2009/07/teori-belajar-behavioristik-dan.html, Diakses tanggal 28 September 2009).

Kahfi, M. Shohibul. 2005. Panduan Pembelajaran: Mengembangkan Perangkat Pembelajaran Matematika dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Malang: Tim Kerjasama Sekolah Unggulan UM.

Prastiwi, Mike. 2009. Teori Behavioristik. (Online). (http://mikeprastiwi.blogspot.com/2009/05/teori-behavioristik.html, Diakses tanggal 28 September 2009).

Sasno. 2009. Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran. (Online). (http://bawahan.co.cc/pembaharuan-pendidikan-/4-profesionalisme/10-behavioris-ala-bawahan-purbalingga.html, Diakses tanggal 28 September 2009).

Thinktep. 2008. Teori Belajar Behavioristik. (Online). (http://thinktep.wordpress.com/2008/11/10/teori-belajar-behavioristik/, Diakses tanggal 28 September 2009).

Wikipedia. 2009. Teori Belajar Behavioristik. (Online). (http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik, Diakses tanggal 28 September 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar